My Journey...

Surat dari Muntilan : Sowan ke Rumah Romo….

“Romo,,,, akhirnya aku bisa sowan kesini.. Puji Tuhan…”

Itulah kalimat pertama yang aku katakan saat aku bersimpuh di hadapan nisan Romo Sandjaja. Setelah sekian lama mengenal beliau melalui buku, dan setelah sekian lama memimpikan bisa datang ke tempat ini, kini akhirnya aku berhasil juga tiba di tempat ini. Salah satu alasanku ke Jogja adalah untuk sowan ke Kerkhof Muntilan ini…

Dari terminal Jombor di Jogja, saya naik bus yang menuju Muntilan. Sempat terlelap sejenak, dan begitu terjaga langsung diturunkan di pasar Muntilan. Padahal saya tahunya nyambung angkot ke kerkhof dari terminal Muntilan. Untung setelah tanya sana sini, saya akhirnya menemukan angkot ke kerkhof. Setelah perjuangan dan penantian, rasanya bahagia sekali bisa berada di sini…

Selamat datang di Kerkhof Muntilan
Selamat datang di Kerkhof Muntilan

Di halaman kerkhof aku melihat makam Kardinal Darmojuwono, Romo Van Lith, Mgr Djadjasapoetra (Vikaris Apostolik Jakarta ke VIII), Mgr Willekens (Vikaris Apostolik Jakarta tahun 1934-1952),  dan para tokoh misionaris di Muntilan.  Aku kemudian masuk ke dalam pondok, dan memandang tembok-tembok yang tertutup nisan, ada banyak nama yang tidak kukenal. Namun di dinding kiri ada sebuah penjelasan mengenai 5 imam, 2 frater, 1 bruder Jesuit, serta dua warga, yang dibunuh pada 1 November 1945 di Magelang. Mereka ditangkap oleh sekelompok pemuda dengan tuduhan adanya tembakan dari halaman Pastoran Magelang. Meskipun mereka mencoba membela diri, para pemuda ini tidak mau menerima. Salah seorang pastor yaitu Pastor Versteegh, meminta waktu setengah jam agar mereka bisa saling mengaku dosa dan mempersiapkan diri. Setelah itu, mereka semua dibunuh di Giriloyo, Magelang. Tiga bulan kemudian, Angkatan Pemuda menyatakan bahwa mereka tidak bersalah. Pada 5 Agustus 1950, makam mereka dibongkar, dan dimakamkan pula di kerkhof Muntilan, bersama dengan Frater Bouwens dan Romo Sandjaja. Ini nama para imam, frater dan bruder Jesuit itu : Romo Aben, Romo Minderop, Romo Schouten, Romo Versteegh, Romo, Weve, Frater Dirdjasoewita, Frater Mooi Wilten, Bruder Widjasoepadma, E Oppatja, dan S Sudarmo. Ada pula makam para pendidik yang juga dipindahkan kesana, dan dimuliakan oleh para mantan siswanya. Dan pada kolom kedua, aku akhirnya menemukan nisan Romo Sandjaja dan Frater Bouwens.

Makam Romo Van Lith
Makam Romo Van Lith
Kolom kedua dari kiri : Makam Romo Sandjaja (atas) dan Frater Bouwens (bawah). Kolom ketiga : makam korban 1 November 1945.
Kolom kedua dari kiri : Makam Romo Sandjaja (atas) dan Frater Bouwens (bawah). Kolom ketiga : makam korban 1 November 1945.

Ingatanku kembali ke pertengahan tahun 90an. Waktu itu saya menemukan buku berwarna ungu di perpustakaan sekolah. Judulnya : Mengenal dan Mengenang Rama R Sandjaja Pr. Saya tidak membaca keseluruhan isinya. Yang saya baca hanyalah bagian ketika beliau dibunuh. Dan pada tahun 1999, saya juga menemukan buku kecil dengan judul : “Berdoa Bersama Romo Sandjaja”, dan dari buku kecil inilah saya mengenal beliau. Beliau, si cerdas yang dijuluki kamus kecil berjalan (Lopend zakwoordenboek). Si lugu yang canggung dan sering membuat suara krompyang. Seorang yang rajin (belajar, mengikuti ekaristi, berdoa, berziarah), jujur, dan taat hingga mati.

Entah mengapa, pribadi beliau begitu memikat, bahkan hingga kini setelah saya dewasa. Impian untuk sowan ke makamnya pun selalu ada dalam pikiran saya. Mungkin karena kematiannya yang tragis dalam usia muda? Entah.. Tapi beliau memang tepat untuk dijadikan teladan. Bahkan konon ada banyak umat yang bersaksi bahwa doa-doa mereka dikabulkan Tuhan melalui perantaraan Romo Sandjaja. Alias, banyak yang menjadikan beliau sebagai tempat curhat (salah seorang penjaga di kerkhof juga berkata demikian kepada saya. Banyak sekali orang yang curhat dan mengadu di depan makam Romo).

Beliau lahir di desa Sedan, Muntilan, pada tanggal 20 Mei 1914, namun entah kenapa di nisannya tertulis tanggal lahir 6 Mei 1915? Pada tanggal 13 Januari 1943, beliau menerima tahbisan imam dari Mgr Soegijapranata. Dalam lima tahun hidup imamatnya, beliau pernah menjadi pastor paroki Muntilan, pastor paroki Magelang, dosen sejarah gereja dan moral, dan tugas terakhirnya adalah menjadi prefek seminari menengah Muntilan.

Beliau dibunuh bersama dengan Frater Herman Bouwens, SJ, pada tanggal 20 Desember 1948, tepat sehari setelah agresi militer Belanda II di Yogyakarta. Ada yang bilang mereka dibunuh karena masalah persengketaan lapangan bola milik misi, ada pula yang bilang mereka dibunuh dengan dalih diundang untuk membicarakan nasib gedung misi (yang notabene dianggap sebagai milik Belanda) yang sore itu harus dibumi hanguskan agar tidak digunakan oleh Belanda, ada pula yang berkata bahwa mereka dibunuh karena masalah pertikaian agama. Hingga kini tak ada satupun yang tahu alasan pasti dibalik pembunuhan mereka berdua. Yang pasti, malam itu mereka diundang oleh beberapa orang Laskar Hizbullah untuk menghadiri sebuah pertemuan. Romo Sandjaja menyanggupkan diri untuk mewakili para pastor untuk menghadiri pertemuan itu. Para pengundang itu meminta agar semua pastor Belanda ikut dalam pertemuan itu, namun akhirnya setelah bernegosiasi, hanya Fr. Bouwens yang berangkat untuk mewakili para pastor Belanda. Br. Kismadi pun ikut bersama mereka, namun hanya memakai baju biasa, sedangkan Romo Sandjaja dan Fr. Bouwens memakai jubah. Br. Kismadi disuruh pulang, mungkin karena hanya memakai pakaian biasa, namun tak lama kemudian beliau mendengar suara tembakan dan pukulan bertubi-tubi, meski tak ada suara keluhan atau rintihan dari kedua orang itu.

Keesokan harinya, jenazah mereka berdua diketemukan dalam keadaan sangat mengenaskan, dan keduanya dikubur dengan seadanya, mengingat kondisi yang amat mencekam saat itu. Hingga pada tanggal 5 Agustus 1950, kedua jenazah itu dipindahkan ke tempat yang sekarang dikenal sebagai Kerkhof Muntilan.

Sejak tahun 1962, ada banyak usaha untuk mengusahakan penyelidikan kanonisasi (agar dapat diangkat sebagai orang kudus) bagi mereka berdua. Rm Van Thiel menulis artikel-artikel di beberapa media Katolik, yang berisi panggilan bagi setiap orang yang pernah berhubungan dengan Romo Sandjaja, Frater Bouwens, dan juga Romo Strater, SJ (yang meninggal di penjara Sukamiskin Bandung pada tahun 1944).  Panggilan itu dimaksudkan agar orang-orang yang pernah mengenal mereka mau mengungkapkan keutamaan-keutamaan mereka semasa hidup, serta doa-doa yang telah terkabul melalui perantaraan mereka. Memang sudah banyak yang bersaksi bahwa doa mereka terkabul melalui perantaraan mereka, bahkan ada orang yang disembuhkan dengan menyentuh handuk yang pernah dipakai untuk membersihkan tubuh Romo Sandjaja. Banyak pula yang mendapatkan pemecahan atas masalah mereka setelah bertirakat dan berdoa dengan perantaraan beliau.

Akan tetapi, selain kesaksian-kesaksian tersebut, masih dibutuhkan hal-hal lain untuk dapat mengajukan mereka agar dapat diangkat sebagai orang kudus. Jika ada orang yang bersaksi bahwa mereka mati karena mempertahankan iman, maka mereka dapat segera diangkat menjadi martir. Namun jika hal itu tidak mungkin (hingga kini tidak ada orang yang berani bersaksi tentang peristiwa malam itu. Mungkin karena kekhawatiran akan terjerat oleh hukum negara. Padahal nama-nama mereka akan dirahasiakan dari hukum. Selain itu, ada kemungkinan pula pembunuhan mereka bukan berlatar belakang agama, melainkan politik), maka diperlukan pembuktian-pembuktian mujizat yang sungguh dan disertai oleh pemeriksaan dokter. Memang betul-betul perjalanan yang panjang. Bahkan hingga kini saya tidak tahu apakah proses ini masih dilanjutkan, mengingat para pemrakarsa proses kanonisasi ini sebagian besar telah meninggal. Buat saya sendiri, saya percaya, mereka sudah di surga. Dan mereka akan membantu mendoakan kita yang masih berziarah di dunia. Menjadi beato, atau santo, atau romo biasa, mereka tetap ada di hatiku.

“Romo,,, disini nyaman ya,,, aku betah,,,” aku menyambung kembali kata-kataku yang terputus lamunan. “Romo, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, ada banyak hal yang mengganjal… Aku ingin cerita..” Air mataku menetes jatuh, seolah sedang berkeluh kesah dengan seseorang yang telah lama kukenal..

Keluar dari makam, rasanya lega banget. Serasa beban-beban di pundak sudah dilepaskan semua di depan nisan Romo Sandjaja. Di luar makam, aku bercakap dengan seorang penjaga yang menjelaskan area sekitar kerkhof, dan kejadian singkat tahun 1948, sesuai dengan apa yang pernah dituturkan Br Kismadi. Dan akhirnya aku bisa mendapatkan pula copy dari buku yang pernah kubaca hampir 20 tahun yang lalu..
Dengan berat hati aku melangkah keluar dari kerkhof. Di pintu gerbang, aku memalingkan lagi wajahku ke arah pondok… Romo, aku ingin sekali punya ketabahan dan ketaatan seperti Romo…

Romo, nanti aku kembali lagi yaa,,,,
Romo, nanti aku kembali lagi yaa,,,,

Romo, izinkan aku untuk kembali lagi kesini yaa…

24 thoughts on “Surat dari Muntilan : Sowan ke Rumah Romo….”

  1. Terima kasih untuk tulisan ini, saudara. Apresiat untuk saudara.
    Saya mau tanya, dimana saudara mendapat sumber2 untuk menulis tulisan ini? Dan untuk 2 buku yg disebutkan di atas, dimana kira2 saya bisa mendapatkannya?
    Kebetulan saya sedang proses menyelesaikan skripsi yang mengangkat tentang romo sandjaja dan katolik di muntilan.
    Terima kasih, mohon balasannya.

  2. Saudara, terima kasih dan apresiat sekali untuk tulisan ini.
    Dari tulisan di atas, darimana saudara mendapatkan sumber2nya? Atau 2 buku yg dibahas di atas, kira2 dimana saya bisa mendapatkannya? Kebetulan saya sedang menulis skripsi yg mengangkat tentang romo sandjaja dan katolik di muntilan.
    Terima kasih, mohon balasannya.
    Atau bisa hubungi saya via bbm di 5522b3f1. Sekali lagi terima kasih

    1. Halo Mas Rian.. saya dapat copyan buku Mengenal dan Mengenang Rm. R. Sandjaja dari penjual di halaman kerkhof Muntilan.. Beliau jual dg harga Rp. 10.000 kalau tak salah.. Buku ini sangat tua dan sudah tak terbit lagi..
      Sedangkan buku Berdoa Bersama Rm. Sandjaja diterbitkan Kanisius tahun 1999. Saya tidak tahu apakah masih dicetak ulang atau tidak. Tapi sudah tak pernah lihat di toko buku..
      Kalau boleh tahu Mas domisili dimana?

      1. Halo mba celina, terima kasih tanggapannya. Di krekof sepertinya sudah tidak dijual lagi buku tsb.
        Domisili saya di jogja mba. Kebetulan lagi bolak-balik muntilan untuk cari data.

      2. Sebetulnya segera saya butuh data ini mba. Minggu ini, karena kebetulan di minggu ini saya konsentrasi untuk mencari data ttg figur romo sanjoyo.
        Sebentar saya kirim ke emailnya.

  3. My uncle was the Father Joop Versteegh that you mention in this article. Is it possible to visit Kerkhof Muntilan? I am visiting Java in September/October this year, and will be going to Jogja.
    Willem Versteegh

    1. Hi, Bill.. yes, of course.. it is very possible.. You can use public (small) bus from Yogyakarta (from Jombor bus terminal) to Muntilan. Then stop at Pasar Muntilan (Muntilan traditional market), and from Pasar Muntilan you can use public car or public motorbike to kerkhof Muntilan.. if you have a plan to visit Borobudur, you can visit this kerkhof first before go to Borobudur, because the location is in the middle of the road Yogya to Borobudur.. from kerkhof, take the public car to Muntilan Terminal (bus stop), and
      Take the small bus to Borobudur..

      1. Saya muslim tinggal di muntilan yg ingin bersama2 menguak secara obyektif kisah romo sanjoyo yg selama ini nenjadi untold stories di muntilan,
        Ini kontak wa saya 085727381000

      2. Ada beberapa refrensi tulisan yg telah saya dapatkan dari pihak katolik tp kok cenderung menyudutkan umat islam,bisa kah kita berbagi refrensi?

      3. Referensi tulisan yang saya miliki hanyalah referensi yang berasal dari Gereja sudah saya tuliskan dalam blog saya. Buku tersebut saya beli di halaman makam Romo..
        Saran saya anda bertemu dengan dewan pengurus atau pastor di paroki terdekat (mungkin Muntilan).

      4. Saya mendapatkan copy buku ini dijual di depan makam romo (kerkhof Muntilan), sorry2.. yang ini tak dituliskan…
        Setahu saya sih sudah tidak diterbitkan lagi, jadi yg beredar hanya copynya saja..

      5. Saya juga punya copyanya buku itu yg dutulis th 1984 klo ga salah.tp sy baca diblog/web lain ada yg menulis sangt menyudutkan umat islam..klo tulisan di blog mbak cukup bgus krna ditulis beberapa kemungkinan penyebab tragedi 20 des 1948 itu

      6. Pak Rifai, apa yang saya tuliskan di blog memang sebagian besar berasal dari buku itu..

        Kalau buku yang “Berdoa Bersama…” itu hanya berisi profil beliau dari berbagai sumber. Isinya mengenai teladan yang bisa kita pelajari dari pribadi beliau.

        Kalau bagi saya sendiri ketika tidak
        ada pernyataan resmi mengenai apa penyebab kematian beliau, maka saya tak berhak untuk membuat pernyataan juga Pak. Apalagi setahu saya hingga saat ini pihak Gereja Katolik juga belum pernah membuat pernyataan resmi, karena statusnya masih investigasi, meski saya tak tahu apakah investigasinya masih dilanjutkan atau tidak..

        Jujur sih.. memang simpang siur sekali mengenai kronologis kejadian itu. Kalau kita tanyakan pada pihak pemerintahan pun pasti tidak ada jawaban atau data yang memuaskan, karena pada masa itu adalah masa transisi.
        Pak Rifai apakah pernah menghubungi para tetua2 (baik Muslim maupun Katolik) di Muntilan yang mungkin menjadi saksi atau pernah mengetahui tentang Romo Sandjaja, atau kejadian 20 Desember 1948 itu?

      7. Kalo tokoh muslim yg mnjd saksi2 sejarah pada masa itu kami pernah berdiskusi ttg msalah ini

      8. Nah.. saya ndak tahu pak..apakah tokoh Gereja disana pernah melakukan hal serupa.. karena saya bukan umat disana. Maka saya anjurkan Bapak bertemu dengan otoritas resmi Gereja untuk tahu bagaimana progresnya hingga saat ini.. Mungkin diskusi ini bisa membawa titik cerah bagi kita semua dan harapannya menghilangkan semua kecurigaan yang selama ini masih ada ..

Leave a reply to Rifai Cancel reply