1 Minggu 1 Cerita

Kenangan Rumah Betang..

Suara musik khas Dayak bagai menyambut kita dengan hangat di halaman Rumah Panjang ini. Hujan gerimis masih terus membasahi Pontianak sejak tadi, namun tak mengurangi semangat para muda-mudi yang sedang berlatih tari.

Aku terpukau.. Dan tanpa sengaja kulihat kau tersenyum..

Rumah Betang ini memang hanya replika. Ia tak didirikan di tepi sungai seperti rumah-rumah aslinya, tapi rumah ini mempesonaku dengan segala kemegahannya.

Entah mana yang lebih mempesona, rumah megah ini atau senyumanmu..

Aku membayangkan, mungkin di Kapuas Hulu sana ada rumah-rumah Betang yang lebih panjang dan lebih megah lagi, dimana puluhan hingga ratusan anggota keluarga tinggal di dalamnya.

Mengapa kau hanya tersenyum?

Sejak mentari masih tinggi hingga gelap menjelang, aku baru mendengar dua patah kata dari bibirmu, “Hai”, dan “Terima kasih”.

Aku mencoba mencerna informasi-informasi yang diberikan pastor yang mengantar kita. Kata beliau, panjang rumah ini lebih dari seratus meter, dan tingginya sekitar tiga meter di atas permukaan tanah. Aku betul-betul terpana, di daerahku tak pernah kutemukan rumah sebesar ini.

Beliau menunjukkan kayu belian yang menyusun rumah, mulai dari lantai, tangga, hingga tiang-tiangnya, dan juga tentang rotan yang mengikat setiap sudut kayu dengan simpul-simpul yang rapat tak tergoyahkan.

“Lantai kayu lebih susah dirawat dibandingkan dengan lantai keramik. Kita harus menyikat lantainya secara periodik, tak seperti lantai keramik yang hanya perlu dipel saja dengan air.”

Kamu mengangguk mengiyakan pernyataan itu. Ah, kamu memang sungguh pendiam ya? Padahal aku ingin mendengar suaramu..

Kita lalu menaiki tangga yang terletak di sisi kiri rumah. Ternyata di lantai atas ada banyak orang yang tengah memajang banyak lukisan.

Ah, kita datang terlalu cepat, padahal esok sore akan ada pembukaan festival di rumah ini. Andai saja aku punya waktu lebih banyak lagi di kota ini…

Sudut mataku mencoba menangkap sosokmu yang hanya selangkah di belakangku. Aku berusaha tetap fokus pada apa yang mereka jelaskan. Meski aku hanya ingin memastikan kamu berdiri tak jauh dariku.

Pastor menunjukkan atap rumah yang terbuat dari sirap, juga menjelaskan makna beberapa lukisan-lukisan yang sudah terpasang di dinding.

Ada delapan kamar di dalam rumah itu. Namun seluruh pintunya tertutup kecuali pintu yang paling akhir. Di dalam ruangan yang paling ujung itu para panitia sedang menikmati makan malam mereka yang sederhana.

Kamu melangkah ke pelataran luar. Aku ingin ikut.. Tapi aku tak bisa. Aku harus mendengarkan penjelasan mereka. 

Di hadapanku terpampang tiga buah perisai perang (talawang) dan sebuah lukisan dengan banyak sulur-sulur yang saling berhubungan. Motif-motif ini menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam sekitar, juga hubungan dengan manusia lainnya.

20160309_195444

Salah seorang panitia festival menjelaskan sistem kekerabatan suku Dayak yang merupakan sistem parental. Garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan pihak ibu, tidak hanya dari ayah (patrilineal) atau ibu (matrilineal). Jadi ketika menikah, sepasang suami istri bebas memilih untuk tinggal bersama keluarga dari pihak suami atau dari pihak istri. Hak warisan pun tidak dibatasi hanya bagi anak laki-laki saja.

Aku terkejut ketika menyadari bahwa kau sudah berdiri lagi di sampingku, ikut menyimak penjelasan beliau.

Kita lalu turun melalui tangga di sisi kanan rumah dan berdiri sejenak di bagian bawah rumah hingga semua rombongan lengkap berkumpul.

Bagaimana cara membuatmu berbicara?

Sayang sekali hari sudah gelap dan penerangan amat terbatas hingga aku tak bisa melihat detail-detail rumah ini. Padahal aku yakin sekali rumah ini pasti dipenuhi hiasan ornamen-ornamen khas Dayak.

Aku terkejut ketika menyadari bahwa kita berdiri berdua saja di bawah rumah ini. Kemana yang lainnya? Hingga aku harus berupaya memecahkan mantra keheningan di antara kita.

Aku menarik nafas lega ketika akhirnya berhasil membuatmu bercerita tentang rumahmu, sekolahmu, dan dengan tersipu malu kamu berkata bahwa seumur hidupmu kamu belum pernah melangkah keluar dari Bumi Khatulistiwa. Sadarkah kamu, percakapan ini adalah percakapan paling panjang dalam hubungan kita selama beberapa bulan ini..

Kota ini memang terlalu indah untuk ditinggalkan. Aku saja merasa tak ingin beranjak. Aku ingin tahu lebih banyak tentang kota ini, aku ingin memandang sungai terpanjang seantero negeri yang melintasi kota ini, aku ingin berdiri di bawah garis lintang nol derajat, aku ingin memandang bayanganku menghilang, aku ingin melihat rumah Melayu, aku ingin belajar tentang Suku Dayak.

Aku juga ingin mengenalmu lebih dekat lagi…

Sebuah gubuk kecil di sudut kiri depan rumah melindungi sebuah patung hitam berwajah seram. Pastor bilang patung itu adalah patung pelindung kampung dari roh-roh jahat. Rombongan kita sibuk berdiskusi, entah tentang apa, di depan patung itu.

Tapi aku hanya ingin berdiri di dekatmu dan berbicara tentang apa saja denganmu. Tentang cuaca, tentang malam ini, tentang kota ini, tentang rumah ini, tentang kabut asap, tentang hidupmu, tentang hidupku..

Dan mungkin tentang kita…

Aku mencoba mengabadikan seluruh pemandangan Rumah Betang itu. Bukan hal yang mudah karena cat rumah yang berwarna hitam semakin tenggelam dalam gelapnya malam.

20160309_200851

“Berhasil dapat foto rumahnya?”, Kamu bertanya. 

Aku mengangguk, padahal hasil fotoku sangat jauh dari sempurna.

Meskipun aku tak berhasil mengabadikan pemandangan rumah ini dalam kameraku, tapi izinkan aku mengabadikan kenangan bersamamu malam ini dalam benakku. 

 

*Hanya sebuah cerita fiksi yang terinspirasi dari kunjungan ke Rumah Betang di Jl. Sutoyo, Pontianak.

img-20160223-wa0000.jpg

 

12 thoughts on “Kenangan Rumah Betang..”

  1. Semoga senyumannya membahagiakan dirimu…
    Keliatannya si pemilik senyum itu mengisi ruang hatimu dan mengikuti kemana dirimu pergi ya ? 😉
    Berbahagialah orang yang membawa sumber kebahagiaan kemana dia berada… Salam

    1. Yang rumah Radakng ya, Pak? Awalnya kami memang ingin masuk kesana, Pak, tapi waktu kami tiba, pintunya sudah ditutup, Pak.. kami kemalaman… akhirnya kami ke rumah Jl. Sutoyo..

Leave a reply to Yudhi Hendro Cancel reply